
Muhammad Syaiful Anwar (Ist.)
Penulis: Muhammad Syaiful Anwar, S.H., LL.M*
Perubahan dalam sebuah peraturan perundang-undangan diperlukan disaat ada kepentingan masyarakat yang belum terakomodir. Terdapat kepentingan yang cukup besar jika sebuah peraturan harus diubah. Beberapa waktu yang lalu, terdapat inisiasi dari DPR untuk mengubah Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Dalam perubahan UU P3 ini perihal dimasukannya metode omnibus law dalam RUU tersebut. Kalangan anggota DPR berpendapat bahwa dimasukannya metode omnibus law dalam RUU P3 ini merupakan langkah preventif dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang kemungkinan akan ada lagi seperti UU Cipta Kerja. Tujuan dari Omnibus Law sendiri merupakan metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang diharapkan proses penyederhanaan peraturan tersebut meminimalisir tumpang tindih aturan.
Ada yang menarik dalam proses perubahan UU P3 ini yakni berkaitan dengan faktor historisnya perubahan aturan tersebut, yakni berawal dari gugatan di Mahkamah Konstitusi oleh beberapa elemen masyarakat terkait dengan UU Cipta Kerja. Terdapat beberapa kejanggalan dalam proses pembuatan UU Cipta Kerja atau sering disebut UU Omnibus Law Cipta Kerja. Salah satu yang menjadi kejanggalan adalah proses pembentukan UU Cipta Kerja yang seolah-olah “terburu-buru” sehingga mengakibatkan melanggar aturan proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di UU P3 tersebut dan ada beberapa kesalahan atau cacat formil yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Secara nyata MK dalam putusannya tersebut menyatakan “pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini”.
Menurut penulis, terdapat beberapa hal yang menarik dalam perubahan UU P3 pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, diantaranya ialah, Pertama, berkaitan dengan waktu 2 (dua) tahun agar DPR melakukan perbaikan dalam UU Cipta Kerja tersebut; hal ini dapat diartikan bahwa Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan dan arahan kepada DPR agar bisa melakukan perbaikan pada UU Cita Kerja khususnya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat substansial dalam kurun waktu 2 tahun, dan apabila dalam 2 tahun ini tidak dilaksanakan maka secara otomatis UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak berlaku. Jika dimulai sekarang, pada tahun 2022, maka masa waktu dua tahun tersebut dapat dikatakan mepet waktu, hal ini yang menjadi sorotan dari beragai kalangan khususnya para akademisi dan para aktivis konstitusi. Waktu yang mepet untuk melakukan perubahan bertendensi adanya pola “degresi substansi” karena waktu yang dibutuhkan sangat mepet sehingga kajian yang dilakukan menjadi premature sehingga aturan yang dihasilkan pun dapat menambah permasalahan formil di kemudian hari.
Kedua, berkaitan dengan keberlakuan UU lain yang “dicabut” dalam UU Cipta Kerja; dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, menjelaskan bahwa kedudukan UU Cipta Kerja ini secara prinsip terjadinya “ketidakpastian” dalam penggunaan diksi penamaan dalam UU Cipta Kerja, yakni dalam bentuk Undang-Undang Baru atau Undang-Undang Perubahan, karena di dalam UU Cipta Kerja itu sendiri banyak sekali UU yang dicabut oleh UU Cipta Kerja, oleh sebab itu perlu adanya kepastian hukum atas pemberlakukan penamaan atas UU Cipta Kerja sebagai undang-undang baru atau undang-undang perubahan dari undang-undang sebelum-sebelumnya. Kedudukan UU Cipta Kerja sendiri secara formil dan sibstansial harus dijelaskan terlebih dahulu agar lebih mudah diposisikan sebagai aturan perundang-undangan.
Ketiga, berkaitan dengan Inkonstitusionalitasnya UU Cipta kerja karena tidak sesuai dengan cara dan proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara prinsip, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengisyaratkan bahwa UU Cipta Kerja ini merupakan UU yang secara formil mengalami kecacatan, maksudnya ialah dalam proses pementukan dari UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law ini, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang yang sudah ada. Maka secara nyata seyogyanya pada saat terdapat cacat formil maka UU Cipta Kerja ini tidak bisa diberlakukan atau dibatalkan seluruhnya.
Dari ketiga hal yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat usaha untuk memasukan cara dan melegalkan metode omnibus law dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal yang menarik adalah agar metode omnibus law itu masuk ke dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dibentuknya UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law ini secara tidak langsung “membuka” pemikiran baru terkait pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun dalam hal ini, UU yang menggunakan metode omnibus law ini melanggar proses prosedur pembentukan UU yakni UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini yang menjadi sorotan publik. Jadi ini penting penulis sampaikan bahwa seyogyanya sebuah aturan itu menyelesaikan banyak masalah bukannya justru membentuk masalah baru. Perubahan sebuah aturan tersebut didasarkan atas kepentingan bersama bukan atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Jadi jika ada aturan yang bermasalah tersebut maka bisa dicabut atau dibatalkan keseluruhannya sehingga tidak mengakibatkan kegaduhan dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia.
*Penulis merupakan Dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung