
Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kota Pangkalpinang Agustian Safitri (Ist.)
Pangkalpinang, Wali-News.com – Kebijakan Presiden Jokowi yang melarang ekspor refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein yang merupakan bahan baku minyak goreng sawit, dan minyak goreng sawit (MGS), diapresiasi oleh Pengurus Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kota Pangkalpinang.
“Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor minyak goreng sawit merupakan kebijakan yang sangat berani dan memberikan manfaat yang sangat bagus bagi pasar dalam negeri,” ujar Ketua PDPM Kota Pangkalpinang Agustian Safitri.
“Karena sebenarnya niat dari pemerintah adalah untuk memenuhi pasokan minyak goreng dalam negeri biar bisa stabil,” tambahnya.
Dijelaskan Agustian, pemerintah mengambil kebijakan untuk melarang ekspor minyak goreng karena melihat adanya ketidakseimbangan antara ekspor dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
“Sebagaimana yang diketahui bersama kebijakan ini diambil karena disebabkan ekspor yang lebih besar dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dimana berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada tahun 2021 terjadi kenaikan ekspor mencapai mencapai $35M atau 505 triliun, meningkat 52,8% dibandingkan tahun 2020,” tutur Agustian.
“Oleh karena itu, ketika kondisi kebutuhan pasar dalam negeri sudah terpenuhi maka diharapkan larangan ekspor tersebut dicabut sehingga bisa menstabilkan kembali harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit milik petani,” tambahnya.
Ditambahkan Agustian, fenomena kelangkaan dan mahalnya minyak goreng yang pada akhirnya membuat pemerintah mengambil kebijakan larangan ekspor, perlu dijadikan pembelajaran dalam menyusun langkah strategis di bidang pangan ke depannya.
“Pelajaran yang dapat diambil, pemerintah mulai dari pusat hingga daerah agar dapat memantau dan mengawasi pergerakan dan perputaran harga TBS atau produksi sawit itu sendiri. Sehingga kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi,” papar Agustian.
“Apabila kebutuhan dalam negeri itu terpenuhi maka masyarakat dapat memenuhi kebutuhan terhadap minyak goreng dengan harga yang lebih terjangkau,” tuturnya.
Fenomena kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng pun dinilai sebagai ironi apabila terjadi di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia.
“Ketika harga minyak goreng melonjak, di satu sisi petani diuntungkan namun di sisi lain masyarakat terdampak kelangkaan dan kenaikan minyak goreng. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor terbesar untuk kelapa sawit,” ucap Agustian.
“Jadi dapat ditengahi secara bijak, dimana pemerintah harus menerbitkan aturan turunan dari larangan ekspor untuk segera menciptakan win-win solution. Dimana kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi, namun harga TBS juga dapat dicarikan harga minimum untuk para petani, serta kebuthuan ekspor juga terpenuhi,” tutup Agustian. (Bb/WN)