
Gelaran Tugu Jogja Expo di Kota Jogja. (dok.Istimewa)
Wali-News.com, Yogyakarta – Gelaran Tugu Jogja Expo (TJE) yang berada di sumbu filosofis tepatnya di Jalan Margo Utomo (Jalan P Mangkubumi), Kota Jogja dipastikan tak berizin. Bahkan Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY, mewanti-wanti agar lokasi tersebut dipindahkan.
Sebelumnya, TJE yang digelar di sekitar Jalan Margo Utomo, Kota Jogja mendapat sorotan dari Forum Pemantauan Independen (Forpi) Yogyakarta. Hal itu menyusul tak adanya izin, serta menimbulkan kemacetan dan menggores pencanangan Malioboro sebagai sumbu filosofis yang diajukan ke UNESCO.
Kepala Disbud DIY, Dian Laksmi Pratiwi mengatakan bahwa sejak awal gelaran TJE sudah tak direkomendasikan di lokasi tersebut. Hal itu dinilai mengganggu sejumlah nilai cagar budaya, bahkan kebersihan lingkungan.
“Proses penyelenggaraannya, kami sekali tidak tahu. Sumbu filosofis itu kan punya aturan yang harusnya sudah dipahami warga. Artinya sumbu filosofis, khususnya (jalan) Margo Utomo, Malioboro, Margo Mulyo dan Nol Kilometer milik masyarakat. Siapa saja yang ingin beraktivitas di sana dan agar tak menimbulkan masalah komunikasi, harus ada izin,” kata Dian, Minggu 18 Desember 2022.
Ia menegaskan bahwa operasional prosedur kegiatan di kawasan sumbu filosofis harus ada izin dari pemangku kebijakan. Bahkan kegiatan yang skala kecil seperti Selasa Wage di Malioboro juga harus mendapat izin.
“Jadi semangat yang kita usung (sumbu filosofis) masyarakat mau bertanggungjawab, jadi tak hanya soal fisik cagar budaya saja, tapi juga nilainya,” tambah dia.
Saat pengajuan izin acara TJE, Dian mengaku mengetahui surat permintaan kajian itu dikirim oleh UPT Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya. Disbud kemudian diminta menelaah dampak yang ditimbulkan dari adanya acara itu.
Dian menjelaskan bahwa hasil kajiannya adalah TJE dinilai memberikan dampak yang tak selaras dengan pengajuan kawasan sumbu filosofis ke UNESCO.
“Rekomendasi yang dikeluarkan juga tidak sepihak dari pandangan kami saja, ada dari Dishub, DLH. Dampaknya bukan saja dari penyelenggaraan acara yang durasinya sebulan, tapi seluruhnya,” kata dia.
Jika melihat dari Peraturan Gubernur No 44/2022 tentang Analisis Dampak pada Warisan Budaya, sudah tertuang beberapa ketentuan umum dan teknis bagi penyelenggaraan aktivitas di wilayah sumbu filosofis. Salah satunya adalah memperhatikan aspek pelestarian yang merangkul terkait perlindungan, pengembangan dan juga manfaat.
“Kami juga sudah tawarkan agar dipindah ke eks gedung kampus STIE, artinya kami ingin masyarakat sadar norma jika menyelenggarakan aktivitas di kawasan itu. Apa yang kami usulkan ke UNESCO bukan semata hanya fisik saja tapi juga nilainya,” terang Dian.
Sementara Ketua Penyelenggara TJE, Widihasto Wasana Putra meminta pemerintah tak hanya melihat aspek dampak acara yang menyebabkan macet hingga produksi sampah saja. Gelaran itu berpotensi besar menggerakkan roda perekonomian warga yang lesu sejak pandemi Covid-19 kemarin.
“Kita sudah diminta Satpol PP berkaitan dengan penghentian kegiatan acara paling lambar Jumat ini. Tapi kami juga tak kunjung menerima surat yang dimaksud. Jadi dinas jangan hanya memandang dampak bahwa TJE akan membuat macet, karena sejak awal kawasan di sini juga sudah padat,” terang dia.
Widihasto berharap pemangku kebijakan lebih bijaksana dalam menerapkan Instruksi Gubernur. Menyusul pelestarian kawasan cagar budaya tidak dipandan sempit.(Abrar)