
Andri Yanto (Ist.)
Penulis: Andri Yanto*
Dalam tulisan dengan judul yang sama, Bagian I, penulis telah menguraikan posisi sentral Indonesia diantara dualisme kepentingan pembangunan, tarik ulur antara ekonomi dan lingkungan. Indonesia, sebagai negara berkembang yang bervisi mencapai kemajuan segala bidang dalam tempo sesingkat-singkatnya, mensyaratkan diri pada pemenuhan sumber daya energi, motor utama penggerak ekonomi dan industri modern. Pasalnya, konsumsi listrik di Indonesia hingga kini masih berada dalam taraf yang cukup perlu dikritisi, yakni 1.112 kWh pada 2020, jauh tertinggal dari standar ideal 2.800-2500 kWh. Padahal, negara tetangga yang memiliki latarbelakang sejarah, geografi dan demografi simila, yakni negeri Jiran, telah memenuhi angka 4.886 di tahun yang sama.
Konsumsi listrik yang rendah bukan berarti bangsa Indonesia mampu berhemat dan ‘lebih cinta lingkungan’ daripada bangsa lain yang memiliki angka konsumsi energi tinggi, sebaliknya malah menunjukan ketidakmampuan (atau belum) memanfaatkan kemajuan teknologi dan sumber daya secara optimal demi menyokong pembangunan. Akibatnya, terdapat kecenderungan pertumbuhan lambat dalam sektor industri, dan sekaligus membatasi kemampuan Indonesia untuk menghadirkan elektrifikasi yang stabil dan reliabilitas tinggi. Padahal, energi adalah kunci dalam menggerakan roda industri skala besar. Anggaplah Tiongkok, misalnya, sebagai negara yang maju pesat sejak Deng Xiaoping memberlakukan ekonomi terbuka di negaranya, pasokan energi dan pembangkit listrik berskala besar, adalah prioritas yang menjadi tulang punggung ekonomi. Indonesia, mutlak membutuhkan pertambahan pasokan energi, termasuk misalnya Program 35.000 MW yang ditargetkan tercapai pada 2019, setahun sebelum SDGs 2030 selesai.
Namun, progresifitas pembangunan yang membutuhkan pertambahan pasokan suplai listrik dalam jumlah raksasa, tidak semata bisa diatasi dengan penambahan jumlah pembangkit dengan energi konvensional saat ini. Pada 2021, Indonesia masih menggantungkan 88% pasokan energinya dari tiga sumber konvensional, yakni minyak bumi, batubara, dan gas. Ketiganya, adalah bahan bakar tipe fossil, yang selain jumlahnya sangat terbatas, juga mengasilkan emisi karbon dalam jumlah sangat besar. Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2021, Indonesia menghasilkan 259,1 juta ton CO2, dengan peningkatan hingga 2,7% dari tahun 2020. Dengan asumsi peningkatan yang relatif sama, emisi karbon akan mencapai rata-rata 300 juta ton, dan menjadikan tujuan SDGs Indonesia yang menggadang-gadang konsep low carbon hanya menjadi ‘guyonan akademis’ diatas kertas. Padahal, low carbon yang dipersiapkan sebagai fragmen dari pencapaian Net Zero Emission 2060 (energi bebas emisi) bukan sekedar upaya ‘keren-kerenan’, melainkan upaya penyelamatan masa depan bumi dari ancaman pemanasan global.
Diantara persimpangan itu, Indonesia harus memecahkan satu teka-teki besar, yakni bagaimana meningkatkan suplai listrik hingga 2-3 kali lipat jumlahnya dari saat ini sebelum 2050, atau setidaknya 50% dari jumlah saat ini pada 2030, dan disaat yang sama, mengurangi jumlah emisi karbon. Jawaban atas pertanyaan tersebut, tidak mungkin dilakukan dengan mengorbankan salah satunya, mengejar ekonomi dengan mengorbankan lingkungan, atau menjaga lingkungan dengan mengorbankan ekonomi. Keduanya bukanlah pilihan yang dapat diambil. Satu-satunya jalan keluar, setidaknya yang diketahui saat ini, adalah dengan transisi energi, meningkatkan jumlah energi dengan sumber-sumber yang hijau, ramah lingkungan, dan tidak menghasilkan emisi. Jawaban inilah yang kini dikebut oleh DPR dalam RUU EB-ET, yang dengan jelas memasukan berbagai sumber energi alternatif, yang bersifat baru maupun terbarukan, untuk menggantikan energi konvensional.
Dalam skema EB-ET, setiap jenis energi perlu dipertimbangkan menurut berbagai parameter, sebelum diputuskan kedudukanya dalam skema bauran energi saat transisi dimulai. Beberapa energi baru dan terbarukan, yang dinilai handal dan menjadi pilihan pemerintah, diantaranya adalah surya, air, angin, panas bumi, nuklir, dan biogas, serta berbagai produk energi olahan batubara. Kesemuanya, turut diproyeksikan sebagai sumber-sumber energi ‘hijau’ yang akan menopang energi Indonesia di masa depan, mensubtitusi energi konvensional saat ini.
Namun, energi bukan semata bersih. Perlu terdapat beberapa pertimbangan pokok dalam menilai potensialitasnya. Pertama, adalah reliabilitas, daya yang dihasilkan. Sumber energi harus benar-benar mampu menghasilkan energi dalam kapasitas yang besar, memenuhi hajat hidup masyarakat banyak, dan tidak bersifat intermitten, selalu tersedia dan stabil. Kedua, ramah lingkungan, dalam arti energi harus bersifat low or zero emission, agar dapat digunakan tanpa mencemari lingkungan dan mempercepat emisi karbon.
Ketiga, energi tersebut harus terjangkau, yakni tidak secara drastis meningkatkan harga listrik di masyarakat. Umumnya, produksi energi EB-ET menghasilkan Biaya Pokok Produksi (BPP) yang jauh lebih tinggi dari harga jual standar, lantaran teknologi yang digunakan dan daya yang dihasilkan tidak selalu berbanding linear. Terlebih, Presiden Joko Widodo dalam COP 2020 telah menegaskan, bahwa transisi energi tidak seharusnya membebani anggaran negara, dalam arti harga produksi listrik saat transisi dilakukan tidak boleh lebih tinggi dari harga saat menggunakan energi konvensional saat ini. Keempat, aspek ketersediaan sumber energi. Sumber energi tersebut harus tersedia di Indonesia, banyak terdapat potensinya, dan dapat digunakan dalam jangka panjang.
Melalui keempat asesmen tersebut, tidak semua sumber energi dapat digunakan secara optimal, lantaran berbenturan dengan beberapa aspek. Misalnya, angin dan air tidak seluruhnya tersedia di Indonesia dan hanya ada di daerah tertentu, sehingga ketersediaan dan reliabilitasnya tidak mampu menjadi energi utama dalam skema transisi. Dua sumber energi yang paling realistis digunakan adalah surya dan nuklir, yang keduanya memiliki reliabilitas tertinggi, dalam artian mampu memenuhi suplai daya secara nasional, mensubtitusi dan meningkatkan pasokan listrik secara drastis dengan potensinya yang tersedia dalam jumlah besar.
Namun, perbedaan antara surya dan nuklir terdapat dalam aspek harga. Dalam aspek reliabilitas, energi surya dan nuklir adalah yang paling menjanjikan. Namun, terkait harga, pemanfaatan PLTS di Indonesia memerlukan pendanaan ekstra, dengan rata-rata per 2021 mencapai US$ 14 sen hingga US$ 25 sen per kWh. Bandingkan dengan batubara yang ‘hanya’ berkisar US$ 9-12 sen, gas alam US$ 7-14 sen dan nuklir US$ 9 sen. Hingga saat ini, pemanfaatan PLTS di Indonesia masih harus berbenturan dengan harga yang tinggi, selain potensi alamnya yang juga interminten, memerlukan lahan yang sangat luas, dan bergantung pada alam sehingga tidak stabil. Sedangkan pemanfaatan PLTN, meski memerlukan biaya lebih besar diawal pembangunan, namun jauh lebih hemat untuk pemanfaatan jangka panjang, dengan lifetime cost rata-rata BPP adalah US$ 6-7 sen per kWh. Selain itu, nuklir juga memiliki ecological footprint dan emisi karbon yang jauh lebih efisien dibanding sumber energi lainya.
Perihal ketersediaan, menurut data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), potensi uranium di Indonesia yang telah diketahui mencapai estimasi 89.000 ton (tU308) dan thorium mencapai 143.234 ton (tTh). Jumlah ini, apabila dimanfaatkan secara optimal, maka dapat memenuhi kebutuhan listrik 300 juta penduduk dengan konsumsi perkapita 3000 kWh selama lebih dari 1000 tahun.
Perhitungan ringkas ini, menunjukan bahwa nuklir adalah sumber energi yang sangat prospektif digunakan di Indonesia, baik secara ekonomi maupun lingkungan dalam jangka panjang. Di seluruh dunia, hingga 2022, telah terdapat 450 PLTN yang berlisensi dan beroperasi di 30 negara. Total daya yang dihasilkan secara global telah mencapai 2.796 terawatt (triliun watt) per jam pada 2019, dan telah mensuplai 10% daya listrik dunia. Saat ini, 48 PLTN baru sedang dibangun, dan akan terus bertambah seiring meningkatnya kebutuhan listrik dan pentingnya pengurangan emisi karbon, hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa PLTN berkontribusi 29% dari total energi bersih dunia.
Hal yang cukup disayangkan, Indonesia sebagai negara yang telah memproyeksikan pemanfaatan nuklir sejak era Soekarno, masih menghasilkan 0 watt dalam penggunaan pembangkit daya, belum sama sekali. Padahal, 2030 sudah didepan mata dan target pemerintah untuk memiliki 10 PLTN pada 2033 tinggal 11 tahun lagi, dan saat ini, belum satupun tanda-tanda PLTN akan dibangun.
Dalam tulisan bagian ketiga, akan diuraikan lebih mengenai urgensi memulai pemanfaatan energi nuklir, strategi dalam mewujudkan, hambatan, dan beberapa cara alternatif dalam mengakselerasikan pemanfaatan nuklir untuk pembangkit daya di Indonesia. Transisi energi adalah tanggung jawab bersama, dan harus didukung oleh kerja kolektif yang saling bergandeng tangan, bahu-membahu selaras semangat Eka Sila: Gotong Royong.
*Penulis merupakan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung