
Ilustrasi Ibu dan Anak (Ist.)
*Penulis: Fadilla Salbilla
Selama masa persidangan V tahun sidang 2021-2022, DPR telah menyetujui empat RUU sebagai bentuk inisiatif DPR. Salah satu diantaranya adalah RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA).
Penyusunan RUU KIA dilatarbelakangi oleh pertimbangan mengenai pemenuhan Hak Asasi Manusia yang diamanatkan oleh Pancasila sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kemudian penjabaran dalam UUD NRI tahun 1945 pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Beberapa pasal yang tercantum dalam konstitusi tersebut memperkuat landasan normatif urgensitas pembentukan RUU KIA. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa, hal ini sudah menjadi PR pemerintah sejak lama untuk menekan dan meminimalisir tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi setiap tahun sehingga sudah sepantasnya membutuhkan peran aktif negara untuk mengatasinya.
Memang keberadaan regulasi yang mengatur mengenai kesejahteraan ibu dan anak ini membawa angin segar kepada kaum wanita yang ada di Indonesia, khususnya bagi mereka para pekerja wanita yang juga turut menjadi tulang punggung keluarga. Namun, seperti kebanyakan Rancangan Undang-Undang yang pernah dikeluarkan sebelumnya, Rancangan Undang-Undang ini juga menuai berbagai tanggapan di masyarakat menjadi dua pandangan yakni Pro dan Kontra.
Adanya jaminan hak cuti melahirkan yang didapatkan oleh ibu yang bekerja selama minimal enam bulan disertai dengan jaminan hak suami untuk pendampingan selama maksimal empat puluh hari dengan ketentuan tetap diberikan upah penuh serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaannya selama cuti merupakan langkah positif yang diambil pemerintah untuk meningkatkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan pekerja dan tentunya sangat kontributif terhadap angka partisipasi ekonomi seorang ibu.
Dinilai dari segi kesehatan, Implementasi dari aturan ini tentu berperan penting dalam memaksimalkan tumbuh kembang anak. Menimbang bahwa angka stunting di Indonesia berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan angka prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 24,4%. Meskipun mengalami penurunan dari tahun 2018, angka ini dinilai cukup besar dan masih menjadi sumbangsih utama terhadap konsistensi Indonesia pada posisi peringkat ke 5 sebagai negara dengan angka stunting tertinggi di Asia.
Dalam hal ini, kesejahteraan Ibu selama proses hamil, melahirkan, dan menyusui memiliki kontribusi yang sangat penting. Sehingga, sudah seharusnya pemerintah memperhatikan kesejahteraan Ibu selama masa proses pendampingan tumbuh kembang anak demi mencegah terjadinya stunting pada anak di Indonesia.
Layaknya dua sisi mata uang, jika dilihat dari sudut pandang aspek perekonomian, eksistensi ketentuan cuti hamil dan melahirkan ini justru dinilai cukup memberatkan pihak perusahaan selaku pihak penyedia pekerjaan. Dalam RUU KIA disebutkan bahwa akan memberikan sanksi administratif bagi setiap penyedia atau pengelola fasilitas, sarana, dan prasarana umum yang tidak melaksanakan kewajiban untuk memberikan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum bagi Ibu dan Anak.
Dampak yang dikhawatirkan terjadi akibat adanya ketentuan ini pada perusahaan adalah terjadinya penurunan produktivitas, timbulnya kecemburuan di antara para pekerja, serta meningkatnya angka kehamilan di antara para pekerja wanita. Fenomena ini diharapkan dapat dipertimbangkan dan diatasi dengan baik, karena jika tidak diatasi dengan langkah solutif yang nyata dikhawatirkan akan membuka peluang terjadinya ketimpangan antara serikat pekerja dengan perusahaan sebagai penyedia lapangan pekerjaan.
Selain itu, kemungkinan terburuk yang dikhawatirkan terjadi dan menjadi pertimbangan banyak kalangan adalah terjadinya penurunan signifikan terhadap lapangan pekerjaan yang disediakan oleh perusahaan untuk wanita terutama bagi yang sudah menikah. Tentunya untuk mencegah dan mengatasi berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan terjadi di kemudian hari akan tetap menjadi PR tambahan untuk pemerintah.
Keberadaan RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak dapat dikatakan sebagai upaya pemerintah untuk menunjukkan kontribusi nyata dalam menangani permasalahan kesehatan, kesejahteraan pekerja wanita, dan tentunya stunting anak yang terjadi di Indonesia. Berkaca dari beberapa negara yang telah menerapkan regulasi yang serupa, bukan hal yang mustahil untuk dilakukan pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya.
Bahkan bukan lagi hal yang tabu di masyarakat akan sebuah regulasi yang diciptakan memicu polemik berupa pro dan kontra. Sehingga yang diharapkan adalah tidak hanya satu atau dua kepentingan saja untuk diperhatikan, melainkan juga perlu adanya kesadaran bahwa adanya RUU tentang kesejahteraan Ibu dan anak dapat menyelaraskan keseimbangan kepentingan bersama dan dapat mewujudkan tujuan penyelenggaraan kesejahteraan yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan karena pada dasarnya RUU ini diciptakan untuk memenuhi Hak Asasi yang melekat pada manusia.
*Penulis merupakan Anggota Biro Penelitian dan Penulisan Hukum DPC PERMAHI Bangka Belitung