
Pengurus DPC Permahi Babel (Ist.)
Oleh: DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Babel
Semangat pembaharuan hukum terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus bergulir. Pada dasarnya Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (DPC PERMAHI BABEL) sepakat dengan tujuan diperbaharuinya KUHP, yakni agar diperoleh hukum pidana nasional yang bukan lagi warisan kolonial. Namun, prosedur dalam pembentukan dan substansi yang diatur dalam RKUHP itu harus dipastikan taat asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan tujuan hukum yang dicita-citakan bangsa ini, sehingga RKUHP dapat menjawab kebutuhan hukum masyarakat.
Tahapan demi tahapan proses penyusunan RKUHP harus dilakukan secara transparan dan inklusif sebelum pengesahan Rancangan KUHP menjadi undang-undang. Adapun yang saat ini menjadi polemik berkaitan dengan keterbukaan dan transparansi pembahasan RKUHP itu sendiri, wajar saja apabila publik khawatir mengingat berbagai contoh yang sudah terjadi sebelumnya. Sebab sejumlah undang-undang yang ditengarai bermasalah dari segi substansi, seperti UU Minerba, UU KPK, UU IKN, UU Cipta Kerja, juga dibahas secara tidak transparan dan palu pengesahannya diketuk begitu cepat. Dengan pembahasan yang tidak partisipatif, tidak melibatkan publik luas, gejala pembahasan tertutup dan begitu gelap. Ini terjadi di banyak undang-undang sehingga ini menjadi kekhawatiran publik secara luas sebagai pihak yang tentunya akan terdampak dari disahkannya Undang-Undang ini.
Berkaitan dengan polemik keterbukaan pembahasan dan draf terbaru RKUHP, DPC PERMAHI BABEL berpandangan bahwa dalam sebuah pembentuk peraturan perundang-undangan sangat pentingnya memperhatikan keterlibatan publik (partisipasi publik), karena berkaca pada putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 (putusan terhadap UU Cipta Kerja) yang mengingatkan bahwa tidak terpenuhinya aspek partisipasi bermakna ini mengakibatkan terbentuknya UU yang memiliki cacat formil. Jaminan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi juga dijamin dalam Pasal 96 ayat (4) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, bahwa setiap draf RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Dilansir dari Kompas.com, bahwa menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur selaku bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyebutkan, sejak September 2019 hingga pertengahan Mei 2022, tidak ada naskah terbaru RKUHP yang dibuka kepada publik untuk bisa dikritik. “Padahal masyarakat berhak tahu apa yang akan menjerat dan menghukum mereka (masyarakat), kalau cara pembuatannya seperti ini mana kita tahu apa yang akan menjerat kita, bagaimana kita bisa memberi koreksi kalau mereka (pemerintah) sembunyi-sembunyi”.
Karena melaksanakan pembicaraan tentang suatu rancangan undang-undang bukan terbatas pada terpenuhinya prosedur pembentukannya semata. Pelaksanakan pembicaraan tentang suatu rancangan undang-undang bukan terbatas pada terpenuhinya prosedur pembentukannya semata. Sesuai dengan prosedur berarti memenuhi aspek keadilan prosedural bagi warga negara, sebagai pihak yang akan terdampak dari UU yang akan disahkan kelak, salah satu bagian penting dari prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dalam keterlibatan partisipasi publik.
Partisipasi publik harus menjadi keniscayaan dalam proses penyusunan undang-undang. Mengutip sebuah istilah yang populer bahwa “Democracies die behind closed doors (Demokrasi seringkali mati dalam kamar yang pintunya tertutup)”, tentunya hal demikian jangan sampai terjadi dalam Pembahasan RKUHP yang sedang bergulir ini dan akan ditargetkan disahkan pada Juli 2022 mendatang (Kompas.com). Pemerintah dan DPR harus menjamin keterbukaan informasi publik terhadap proses pembahasan RKUHP, termasuk memastikan tersedianya dokumen pembahasan RKUHP terkini, minutasi pembahasan, dan dokumen-dokumen terkait publik lainnya.
Kemudian berkaitan dengan masih terdapatnya Pasal-Pasal yang diduga kontroversial. Dalam pembahasan RKUHP ditemukan sejumlah pasal yang isinya dinilai kontroversial. Berdasarkan RDP antara Kemenkumham dan Komisi III DPR pada 25 Mei 2022 lalu dibahas soal 14 poin yang menjadi perdebatan. Pasal-pasal kontroversial yang dibahas saat itu antara lain: Hukum yang hidup (The Living Law), Pidana mati, Pidana penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, Pidana karena memiliki kekuatan gaib, Pidana Dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin, Pidana unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih, Pidana penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court), Pidana terhadap advokat curang (yang diusulkan untuk dihapus), Pidana penodaan agama, Pidana penganiayaan hewan, Pidana penggelandangan, Pidana aborsi, kecuali apabila alasan darurat medis atau korban perkosaan, Pidana perzinaan, termasuk kumpul kebo (kohabitasi), dan Pidana perkosaan dalam perkawinan.
Sejumlah pasal yang memantik perdebatan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut tentunya masih sangat perlu dibahas dan direformulasi ulang terutama pasal-pasal yang berpotensi mengancam Demokrasi dan HAM di Indonesia, sehingga tidak menjadi persoalan di kemudian hari. Kalaupun tidak ada waktu lagi untuk membahas secara detail pasal per pasal, setidaknya pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan untuk membahas sejumlah pasal kontroversial yang menjadi perhatian masyarakat. Sudah banyak masuk-masukan dan tanggapan dari para Ahli Hukum dan Lembaga-Lembaga Kajian yang disampaikan berkaitan dengan kritik terhadap 14 poin pasal-pasal yang dinilai kontroversial, tinggal bagaimana DPR dan Pemerintah bisa mengakomodir masukan dan kritik tersebut. Sesuai wujud nyatanya sebagai hukum publik, hal-hal yang diatur dalam KUHP akan sangat mungkin bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Oleh karenanya, pemahaman komprehensif atas RKUHP termasuk dinamika penyusunannya menjadi penting tidak hanya bagi kalangan hukum, tetapi juga masyarakat umum. Karena RKUHP sebenarnya mengusung misi penting, bukan semata untuk mengakhiri eksistensi regulasi warisan kolonial, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka merancang arah pembaruan hukum pidana nasional yang berlandaskan pada hak asasi manusia (HAM), keadilan gender, dan sejalan dengan perkembangan hukum pidana modern. (WN)