
Muhammad Syaiful Anwar (Ist.)
Penulis: Muhammad Syaiful Anwar, S.H., LL.M.*
Pada prinsipnya sebuah ide atau gagasan tetap saja diperbolehkan karena itu merupakan hak dasar mutlak manusia utuh, namun pemikiran ini tidak harus dilaksanakan bila melanggar sebuah norma yang telah di tetapkan oleh lembaga yang berwenang bahkan sudah dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang bersifat dasar. Permasalahan politik berbasis Pemilu ini juga masih dalam sebuah wacana secara sadar dan penuh kepentingan untuk memposisikan kekuasaan yang sekarang masih dipegang oleh elit politik.
Peristiwa politik yang digulirkan oleh beberapa elit politik tersebut menarik untuk dibahas terkait fenomena beberapa minggu kebelakang, khususnya terkait dengan wacana penundaan Pemilu yang digaungkan oleh beberapa elit politik di Indonesia. Banyak para aktivis, ahli hukum, akademisi, bahkan mahasiswa pun bersuara menentang wacana penundaan Pemilu tahun 2024. Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa sepakat dengan penundaan Pemilu ini didasari atas inisiatif masyarakat yang merasa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan stabilitas ekonomi, kemudian berkaitan banyak kebijakan yang menurut beberapa pihak membantu masyarkat, khususnya di desa-desa. Hal ini dilakukan oleh APDESI dalam acara Silaturahmi Nasional yang secara nyata mendukung Presiden Jokowi agar melanjutkan kekuasaannya menjadi 3 periode.
Menurut pendapat penulis, ada beberapa hal yang harus di cermati oleh kita semua, diantaranya yakni:
- Berkaitan dengan Konstitusi
- Berkaitan dengan Diksi “melanjutkan atau penundaan Pemilu”
- Berkaitan dengan cara Merubah Konstitusi.
Kita bicara hal yang pertama, berkaitan dengan Konstitusi. Dalam sejarah konstitusi Indonesia yang sudah secara bertahap mengalami amandemen yang menghasilkan UUD NRI 1945 seperti sekarang ini, secara prinsip telah memberikan legitimasi secara terang benderang bahwa jabatan kekuasasan presiden itu selama 5 tahun dan hanya bisa berulang 1 kali masa jabatan, jadi jika dihitung berurutan maka maksimal masa jabatan presiden hanya 10 tahun. Hal ini tertuang dalam Pasal 7 UUD NRI 1945. Namun di sisi lain, jika ada perubahan terkait masa jabatan presiden, akan berdampak luas terhadap mekanisme ketatanegaraan lain, misalkan terdapat perubahan mekanisme Pemilu serentak di tahun 2024 terkait pemilihan Presiden, maka pemilu yang lainnya pun akan ikut ditunda, yakni anggota legislative. Dengan dalih pemilu serentak, maka mas ajabatan anggota legislatifpun bisa mundur atau dengan kata lain “bertambah umur” kekuasaan legislative.
Hal yang menarik yang bisa cermati ialah berkaitan dengan Diksi “melanjutkan atau penundaan Pemilu”. Ada tokoh elit politik yang menyebutkan bahwa penundaan pemilu ini bukan menambah kekuasaan namun hanya ditunda 1-2 tahun saja, kemudian baru pemilu lagi, karena hal ini pernah terjadi pada periode tahun 1970-an yang terjadi penundaan pemilu. Namun di sisi lainnya, penundaan pemilu itu secara prinsip melanggar Konstitusi. Posisi mana yang dianggap melanggar? Karena bmendasarkan pada pola konstitualisme Indonesia bahwa dengan adanya pembatasan kekuasaan hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Namun jangan lupa, bahwa Pemiilu juga bisa dipercepat jika terjadi hal-hal yang mendesak, karena di Indonesiapun pernah terjadi pemilu dipercepat, yakni tahun 1997-1999, sebelum Presiden Soeharto lengser, telah terjadi Pemilu tahun 1997 seharusnya pemilu lagi tahun 2002, karena reformasi maka dimajukan menjadi tahun 1999 tersebut.
Hal terakhir yang menarik ialah issue Merubah Konstitusi yang digulirkan para elit politik. Secara akademis dan proses serta sifat konstitusi itu sendiri, ada yang bersifat flexible dan bersifat rigid. Kemudian muncul pertanyaan; Apakah dimungkinkan perubahan amandemen sekarang ini?? Jawabannya Bisa dan mengarah pada Sangat Mungkin Bisa. Hal ini penting penulis sampaikan karena Pola dan sistem perubahan konstitusi Indonesia-pun digadang-gadang cukup pelik, walaupun hal ini bisa “berubah” seiring sefrekuensinya elite politik di Senayan yang mau mengubah UUD NRI 1945 pasca amanenden. Amandemen UUD bisa saja terjadi bila ada situasi yang darurat sehingga perlu adanya peruabahan konstitusi, namun di di Indonesia tidak dalam keadaan darurat sehingga sangat tidak wajar jika ada wacana perubahan UUD dasar khususnya berkaitan dengan periodesasi atau masa jabatan presiden dan wakil presiden. Perubahan UUD NRI 1945 khususnya terkait masa jabatan ini akan merubah sebuah sistem ketatanegaraan yang sudah disepakati sejak perubahan pertama sampai keempat terhadap UUD 1945.
Demokrasi elektoral yang terjadi di Indonesia selama ini banyak pasang surut, oleh karenanya berkaitan dengan periode kekuasaan pemerintah, seharusnya lebih bijak menggulirkan wacana tersebut. berbagai upaya dan cara dari beberapa pihak dengan lantang menggelorakan wacana penundaan pemilu sangat memperihatinkan, bukan hanya melukai “demokrasi” yang telah dibangun namun hal tersebut mengakibatkan ingin menunjukan hegemoni kekuasaan yang bisa terus terjadi. Ketidaksiapan parpol dalam menghadapi pemiilu 2024 menjadi salah satu parameter inginnya penundaan pemilu 2024. Perubahan konstitusi ini berbasis pada kepentingan masyakarat jangan hanya kepentingan elit politik saja. Mari kita kawal proses demokrasi di Indonesia untuk lebih baik kedepannya.
*Penulis merupakan Dosen HTN FH Universitas Bangka Belitung (UBB)